makanansehat.co.id - Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, memiliki komitmen yang kuat untuk memastikan bahwa produk yang beredar di pasar halal dan sesuai dengan syariat Islam. Sertifikasi halal menjadi krusial bagi bisnis makanan dan minuman agar dapat dipercaya dan diakui kehalalannya oleh konsumen Muslim. Dalam artikel ini, kami akan membahas langkah-langkah cara memperoleh sertifikasi halal di Indonesia serta aturan hukum yang mengatur hal tersebut.
Baca juga: Ketahui 5 Fungsi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Bisnis
Sertifikasi halal adalah proses pemberian pengakuan formal dari otoritas yang berwenang tentang status kehalalan suatu produk. Di Indonesia, sertifikasi halal dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang merupakan lembaga yang independen dan berwenang dalam mengurus sertifikasi halal.
Berikut uraiannya:
Pertama-tama, berdasarkan Pasal 24 UU Produk Halal, pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal harus memenuhi empat persyaratan. Ini termasuk memberikan informasi yang akurat, jelas, dan jujur; menjaga pemisahan lokasi dan fasilitas antara produk halal dan non-halal; memiliki pengawas halal; serta melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.
Baca juga: Hukum Bisnis Restoran dengan Chef Warga Negara Asing
Selanjutnya, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha diwajibkan untuk mencantumkan label halal pada produk yang telah bersertifikat. Pasal 37 dan 38 UU Produk Halal mengamanatkan bahwa label ini harus sesuai dengan ketentuan BPJPH dan berlaku secara nasional, baik pada kemasan produk, bagian tertentu produk, maupun lokasi tertentu pada produk. Pencantuman label halal harus terlihat dengan jelas, mudah dibaca, dan tidak dapat dengan mudah dihapus atau rusak (Pasal 39 UU Produk Halal).
Adapun pelanggaran terhadap kewajiban menjaga kehalalan produk setelah mendapatkan sertifikat halal diatur dalam Pasal 48 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 27 ayat (1) UU Produk Halal. Ini berarti pelaku usaha yang tidak mematuhi kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi administratif. Rincian terkait jenis sanksi, besaran denda, dan prosedur pengenaannya akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (Pasal 48 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 27 ayat (2) UU Produk Halal), meskipun hingga saat ini belum ada rilis resmi mengenai peraturan tersebut.
Kemudian, jika pelaku usaha memproduksi produk yang diharamkan, Pasal 18 dan Pasal 20 UU Produk Halal memberikan panduan mengenai bahan yang diharamkan. Bahan dari hewan seperti bangkai, darah, babi, atau hewan yang tidak disembelih sesuai syariat dianggap diharamkan. Sebaliknya, bahan dari tumbuhan pada umumnya dianggap halal, kecuali jika memiliki efek memabukkan atau membahayakan kesehatan. Bahan yang dihasilkan melalui proses mikroba, proses kimiawi, proses biologi, atau rekayasa genetik juga diharamkan jika terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.
Penting untuk dicatat bahwa pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang diharamkan dapat diberi pengecualian dari permohonan sertifikat halal. Meskipun demikian, mereka tetap diwajibkan untuk mencantumkan label "tidak halal" pada produk tersebut (Pasal 26 UU Produk Halal). Pelanggaran terhadap ketentuan ini juga dapat dikenai hukuman pidana, yakni pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp 2 miliar, sesuai Pasal 48 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 56 UU Produk Halal.
Baca juga: 3 Tips dalam Memilih Bentuk Badan Usaha untuk Bisnis Restoran